Hari ini telah tiba. Hari dimana semua perban yang terbalut ditubuhku akan segera dilepas. Termasuk perban dimataku. Mata dari seorang perempuan bernama Rani. Aku tidak tahu, apa mata ini akan bersinkron dengan tubuhku. Tapi, ketika perawat membuka perban mataku. Ya, mata itu berfungsi dengan baik. Aku bisa melihat dengan jelas dunia dengan mata sebelah kiri yang diberikan oleh dia. "Terima kasih ya," setidaknya ucapku dalam diam mungkin terdengar olehnya.
Perawat itu kemudian mengambilkan sebuah cermin yang
diberikan kepadaku. Awalnya, aku begitu takut melihat mata itu, tetapi aku
perlahan mengangkat cermin, dan mengarahkan kewajahku. Mata itu berwarna
coklat, tidak sama dengan warna mata kananku yang berwarna hitam pekat. Aku
seperti anak yang memiliki kelainan pigmen pada mata.
“Mata itu sepertinya cocok denganmu.” Saut ibuku yang
mencoba mencairkan suasana yang sedari awal begitu tegang. “Entahlah, Bu.
Mungkin awalnya akan terasa aneh bagiku. Terlebih lagi, mata ini adalah milik
seseorang yang aku sendiri belum mengucapkan terima kasih kepadanya.” Lalu, aku
mencoba membangunkan diriku dari kasur. Semuanya benar-benar masih kaku, ototku
terlalu lemah, dan tubuhku sudah terlalu lama beristirahat. Rasanya seperti
orang lumpuh.
“Secara perlahan tubuhmu akan kembali normal. Hanya
perlu dilatih untuk bergerak dan selalu lakukan peregangan kecil.” Begitulah kata
perawat yang sudah selesai memperiksa diriku. Dibantu oleh ibu, aku mencoba
mengambil langkah-langkah kecil dengan kaki yang masih terlihat dengan jelas
bekas lukanya. “Pelan-pelan. Kakimu masih terlihat lemah,” sambil menggandengku
dengan sabar. “Ya, Ibu. Aku tahu, sepertinya aku harus tetap menjalani terapi
ini.”
Perlahan aku harus yakin untuk bisa kembali seperti
semula. Kembali menjalani hidup normalku sebagai seorang anak tunggal dan juga
sebagai mahasiswa kura-kura. Selama menjalani masa terapi, seringkali aku
memaksakan diri agar semua otot tubuhku dapat kembali bekerja dengan baik. Aku
tidak ingin terlalu memanjakannya lama-lama, bukan saatnya seperti itu. Aku
harus kembali bugar, itu yang aku pikirkan.
Hingga akhirnya aku bisa merasakan semuanya kembali
berfungsi dengan normal. Tubuhku sudah tidak kaku lagi, kakiku mulai berjalan
dengan pijakan yang lebih panjang, dan tanganku yang sudah mampu mengangkat
beban. “Ah, dikit lagi… Yaaa, aku berhasil,” bahagiaku yang berhasil berjalan
sambil mengangkat sebuah tas yang berisi beban yang cukup berat.
Saat itulah, dokter yang menanganiku berkata “Kamu
benar-benar cepat untuk bisa kembali bugar, jika kamu sudah merasa baikan, kamu
seharusnya bisa pulang kerumah, dan kembali menjalani rutinitas seperti biasanya.”
Lalu, aku mengangguk dengan senyum yang begitu gembira. Kedua orangtua yang
melihatku juga, merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya.
Tepat dihari ke-47 dan di hari Kamis siang, aku pun
meninggalkan rumah sakit yang sudah merawatku selama ini. Aku benar-benar rindu
dengan rumah, bahkan dengan masakan yang selalu dibuatkan oleh pembantu rumah
tanggaku. Aku sudah berpesan kepada ibuku untuk memberitahu bibi Erna untuk
memasakan makanan favoritku ketika aku sudah tiba dirumah nanti. Seharusnya
bibi Erna tahu masakan apa yang aku inginkan.
Sesampainya dirumah, aku langsung menuju kamarku.
Berbaring pada kasur yang sudah lama aku tinggalkan. “Kasurku, istanaku.”
Setelah melepas rindu dengan kamar ini, aku pun memutuskan untuk melihat bibi
Erna yang sepertinya sedang berada di dapur. Setibanya di dapur, aku melihat
seseorang yang tak familiar. “Eh, Ibu ada memperkerjakan pembantu baru?” kataku
yang terheran dengan orang tersebut. Seharusnya ibu ada memberitahuku
sebelumnya.
Orang itu sepertinya lebih tua dari bibi Erna, dia
hanya terdiam melihat bibi Erna yang sedang memasak. Rambutnya begitu panjang, berantakan,
dan pakaiannya pun terlihat kusut. Wajahnya agak sedikit sinis dan bibinya
tampak pucat. “Ini orang begitu amat sih. Tidak ada kebersihannya sama sekali.”
Pikirku yang masih melihatnya dan akhirnya memutuskan untuk pergi menuju
halaman depan rumah.
“Perumahan yang begitu menyejukkan. Udaranya yang
selalu segar untuk dihirup,” ucapku yang sesekali terus mengambil nafas panjang
dan menghembuskannya dari mulut. Lalu, sebuah mobil lewat tepat didepanku dan
kaca mobilnya pun terbuka. Ada tangan perempuan yang melambai kepadaku “Hai,
Dekwid!!!” dan aku membalasnya “Hai, Sekar,” lalu mobil itu pergi menjauhiku.
Saat aku membalas lambai tangan dari Sekar, sekilas
aku melihat seorang kakek yang duduk diam di bangku tengah mobil. Ku pikir
Sekar dan ayahnya yang menyetir mobil akan pergi mengantar kakeknya ke rumah
sakit, karena aku lagi-lagi aku melihat mukanya begitu pucat keputihan. “Apa
semua orang yang sedang dilanda virus pucat ya?” Bingungku yang masih heran
dengan kejadian dua hal tadi.
Setelah selesai bernostalgia dengan segala hal, aku
kembali menuju kamarku. Melempar diri ke kasur empukku, memejamkan mata, lalu
aku pun tertidur dengan pulas. Hingga malam tiba, terdengar suara pintu kamarku
yang tergedor dari luar diiringi suara ibuku, “Adek, bangun. Makan malam sudah
siap.” Aku yang masih setengah sadar menjawab dengan seadanya untuk menandakan
aku sudah terbangun dari tidur.
Tiba di meja makan, bibi Erna sudah menyiapkan
segalanya. Pada saat semua duduk meja makan, aku, ibu, bapak dan bibi Erna
langsung menyantap segala hidangan yang sudah disajikan. Aku pun langsung
membuka pembicaraan, “Bibi yang lagi satu mana ya?” semua raut wajah heran
langsung tertuju kepadaku, “Bibi lagi siapa, dek?” saut ibuku. “Yang tadi siang
ngelihatin bibi Erna masak. Ibu ada mempekerjakan orang lain lagi?” Lalu, bibi
Erna membantah pernyataanku dan ia bilang tadi siang hanya dia sendirian yang
sedang memasak di dapur.
Aku yang berusaha tetap tenang, menjawab “Masa ya, Bi?
Tadi aku benar-benar melihatnya berdiri di samping Bibi. Bajunya sedikit kusut
dan wajahnya pucat keputihan, seperti orang sedang sakit.” Bibi lagi-lagi
membantah dan bapakku menyambung obrolan itu, “Mungkin kamu salah lihat, karena
efek obat yang tadi pagi terakhir diberikan oleh perawatnya. Atau kamu
benar-benar melihat hantu? Hahahaha,” ibu langsung menyenggol bapak dengan
tangannya “Sudah-sudah lupakan saja hal itu, lebih baik kita lanjutkan
makannya.”
Setelah selesai makan malam, aku langsung memutuskan
masuk kembali ke kamar tidurku. Cukup sudah hal aneh yang terjadi hari ini.
Semuanya tak bisa dimengertikan. Saat aku hendak menaruh kepala ke tempat
tidur, Bibi itu tiba-tiba lewat didepan kamarku, sontak aku bangun, dan
mengejar ke depan pintu kamarku, saat aku menengok keluar tak ada siapapun
diluar. “Sial,” kataku diikuti rasa merinding yang menjalar ke seluruh tubuh.
Aku pun langsung menutup pintu dan langsung tidur untuk segera bertemu kembali
dengan pagi.
0 Comments